Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai Manhaj Al-Fikr
I. PENGANTAR
Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) merupakan bagian
integral dari sistem keorganisasian PMII. Dalam NDP (Nilai Dasar Pergerakan)
disebutkan bahwa Aswaja merupakan metode pemahaman dan pengamalan keyakinan
Tauhid. Lebih dari itu, disadari atau tidak Aswaja merupakan bagian kehidupan
sehari-hari setiap anggota/kader organisasi kita. Akarnya tertananam dalam pada
pemahaman dan perilaku penghayatan kita masing-masing dalam menjalankan Islam.
Selama ini proses reformulasi Ahlussunnah wal Jama’ah
telah berjalan, bahkan masih berlangsung hingga saat ini. Tahun 1994, dimotori
oleh KH Said Agil Siraj muncul gugatan terhadap Aswaja yang sampai saat itu
diperlakukan sebagai sebuah madzhab. Padahal di dalam Aswaja terdapat berbagai
madzhab, khususnya dalam bidang fiqh. Selain itu, gugatan muncul melihat
perkembangan zaman yang sangat cepat dan membutuhkan respon yang kontekstual
dan cepat pula. Dari latar belakang tersebut dan dari penelusuran terhadap
bangunan isi Aswaja sebagaimana selama ini digunakan, lahirlah gagasan
ahlussunnah wal-jama’ah sebagai manhaj al-fikr (metode berpikir).
PMII melihat bahwa gagasan tersebut sangat relevan
dengan perkembangan zaman, selain karena alasan muatan doktrinal Aswaja selama
ini yang terkesan terlalu kaku. Sebagai manhaj, Aswaja menjadi lebih
fleksibel dan memungkinkan bagi pengamalnya untuk menciptakan ruang kreatifitas
dan menelorkan ikhtiar-ikhtiar baru untuk menjawab perkembangan zaman.
Bagi PMII Aswaja juga menjadi ruang untuk menunjukkan
bahwa Islam adalah agama yang sempurna bagi setiap tempat dan zaman. Islam
tidak diturunkan untuk sebuah masa dan tempat tertentu. Kehadirannya dibutuhkan
sepanjang masa dan akan selalu relevan. Namun relevansi dan makna tersebut sangat
tergantung kepada kita, pemeluk dan penganutnya, memperlakukan dan mengamalkan
Islam. Di sini, PMII sekali lagi melihat bahwa Aswaja merupakan pilihan paling
tepat di tengah kenyataan masyarakat kepulauan Indonesia yang beragam dalam
etnis, budaya dan agama.
II. SKETSA
SEJARAH
Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) lahir dari
pergulatan intens antara doktrin dengan sejarah. Di wilayah doktrin, debat
meliputi soal kalam mengenai status Al-Qur’an apakah ia makhluk atau bukan,
kemudian debat antara Sifat-Sifat Allah antara ulama Salafiyyun dengan golongan
Mu’tazilah, dan seterusnya.
Di wilayah sejarah, proses pembentukan Aswaja
terentang hingga zaman al-khulafa’ ar-rasyidun, yakni dimulai sejak terjadi
Perang Shiffin yang melibatkan Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dengan Muawiyah.
Bersama kekalahan Khalifah ke-empat tersebut, setelah dikelabui melalui taktik
arbitrase (tahkim) oleh kubu Muawiyah, ummat Islam makin terpecah kedalam
berbagai golongan. Di antara mereka terdapat Syi’ah yang secara umum dinisbatkan
kepada pengikut Khalifah Ali bin Abi Thalib, golongan Khawarij yakni pendukung
Ali yang membelot karena tidak setuju dengan tahkim, dan ada pula kelompok
Jabariyah yang melegitimasi kepemimpinan Muawiyah.
Selain tiga golongan tersebut masih ada Murjiah dan
Qadariah, faham bahwa segala sesuatu yang terjadi karena perbuatan manusia dan
Allah tidak turut campur (af’al al-ibad min al-ibad) – berlawanan dengan faham
Jabariyah.
Di antara kelompok-kelompok itu, adalah sebuah
komunitas yang dipelopori oleh Imam Abu Sa’id Hasan ibn Hasan Yasar al-Bashri
(21-110 H/639-728 M), lebih dikenal dengan nama Imam Hasan al-Bashri, yang
cenderung mengembangkan aktivitas keagamaan yang bersifat kultural
(tsaqafiyah), ilmiah dan berusaha mencari jalan kebenaran secara jernih.
Komunitas ini menghindari pertikaian politik antara berbagai faksi politik
(firqah) yang berkembang ketika itu. Sebaliknya mereka mengembangkan sistem
keberagamaan dan pemikiran yang sejuk, moderat dan tidak ekstrim. Dengan sistem
keberagamaan semacam itu, mereka tidak mudah untuk mengkafirkan golongan atau
kelompok lain yang terlibat dalam pertikaian politik ketika itu.
Seirama waktu, sikap dan pandangan tersebut
diteruskan ke generasi-generasi Ulama setelah beliau, di antaranya Imam Abu
Hanifah Al-Nu’man (w. 150 H), Imam Malik Ibn Anas (w. 179 H), Imam Syafi’i (w.
204 H), Ibn Kullab (w. 204 H), Ahmad Ibn Hanbal (w. 241 H), hingg tiba pada
generasi Abu Hasan Al-Asy’ari (w 324 H) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H).
Kepada dua ulama terakhir inilah permulaan faham Aswaja sering dinisbatkan;
meskipun bila ditelusuri secara teliti benih-benihnya telah tumbuh sejak dua
abad sebelumnya.
Indonesia merupakan salah satu penduduk dengan jumlah
penganut faham Ahlussunnah wal Jama’ah terbesar di dunia. Mayoritas pemeluk
Islam di kepulauan ini adalah penganut madzhab Syafi’i, dan sebagian
terbesarnya tergabung – baik tergabung secara sadar maupun tidak – dalam
jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama, yang sejak awal berdiri menegaskan sebagai pengamal
Islam ala Ahlussunnah wal-Jama’ah.
III. PENGERTIAN
Secara semantik arti Ahlussunnah wal jama’ah adalah
sebagai berikut. Ahl berarti pemeluk, jika dikaitkan dengan aliran atau madzhab
maka artinya adalah pengikut aliran atau pengikut madzhab (ashab al-madzhab).
Al-Sunnah mempunyai arti jalan, di samping memiliki
arti al-Hadist. Disambungkan dengan ahl keduanya bermakna pengikut jalan Nabi,
para Shahabat dan tabi’in. Al-Jamaah berarti sekumpulan orang yang memiliki
tujuan. Bila dimaknai secara kebahasaan, Ahlusunnah wal Jama’ah berarti
segolongan orang yang mengikuti jalan Nabi, Para Shahabat dan tabi’in.
Nahdlatul ‘Ulama merupakan ormas Islam pertama di
Indonesia yang menegaskan diri berfaham Aswaja. Dalam Qanun Asasi (konstitusi
dasar) yang dirumuskan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari juga tidak
disebutkan definisi Aswaja. Namun tertulis di dalam Qanun tersebut bahwa Aswaja
merupakan sebuah faham keagamaan dimana dalam bidang akidah menganut pendapat
Abu Hasan Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dalam bidang fiqh menganut pendapat dari
salah satu madzhab empat (madzahibul arba’ah – Imam Hanafi, Imam Malik, Imam
Syafi’i dan Imam Hanbali), dan dalam bidang tasawuf/akhlak menganut Imam Junaid
al-Baghdadi dan Abu Hamid Al-Ghazali.
Selama kurun waktu berdirinya (1926) hingga sekitar
tahun 1994, pengertian Aswaja tersebut bertahan di tubuh Nahdlatul Ulama. Baru
pada sekitar pertengahan dekade 1990 tersebut, muncul gugatan yang
mempertanyakan, tepatkah Aswaja dianut sebagai madzhab, atau lebih tepat
dipergunakan dengan cara lain?
Aswaja sebagai madzhab artinya seluruh penganut
Ahlussunnah wal Jama’ah menggunakan produk hukum atau pandangan para Ulama
dimaksud. Pengertian ini dipandang sudah tidak lagi relevan lagi dengan
perkembangan zaman mengingat perkembangan situasi yang berjalan dengan sangat
cepat dan membutuhkan inovasi baru untuk menghadapinya. Selain itu, pertanyaan
epistimologis terhadap pengertian itu adalah, bagaimana mungkin terdapat
madzhab di dalam madzhab?
Dua gugatan tersebut dan banyak lagi yang lain, baik
dari tinjauan sejarah, doktrin maupun metodologi, yang menghasilkan kesimpulan
bahwa Aswaja tidak lagi dapat diikuti sebagai madzhab. Lebih dari itu, Aswaja
harus diperlakukan sebagai manhaj al-fikr atau metode berpikir.
IV. ASWAJA SEBAGAI MANHAJ
AL-FIKR
Kurang lebih sejak 1995/1997, Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia meletakkan Aswaja sebagai manhaj al-fikr. Tahun 1997
diterbitkan sebuah buku saku tulisan Sahabat Chatibul Umam Wiranu berjudul
Membaca Ulang Aswaja (PB PMII, 1997). Buku tersebut merupakan rangkuman hasil Simposium
Aswaja di Tulungagung. Konsep dasar yang dibawa dalam Aswaja sebagai manhaj
al-fikr tidak dapat dilepas dari gagasan KH Said Agil Siraj yang mengundang
kontroversi, mengenai perlunya Aswaja ditafsir ulang dengan memberikan
kebebasan lebih bagi para intelektual dan ulama untuk merujuk langsung kepada
ulama dan pemikir utama yang tersebut dalam pengertian Aswaja.
PMII memandang bahwa Ahlussunnah wal-jama’ah adalah
orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek
kehidupan dengan berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan
toleran. Aswaja bukan sebuah madzhab melainkan sebuah metode dan prinsip
berpikir dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan
sosial-kemasyarakatan; inilah makna Aswaja sebagai manhaj al-fikr.
Sebagai manhaj al-fikr, PMII berpegang pada
prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tawazun (netral), ta’adul (keseimbangan),
dan tasamuh (toleran). Moderat tercermin dalam pengambilan hukum
(istinbath) yaitu memperhatikan posisi akal di samping memperhatikan nash.
Aswaja memberi titik porsi yang seimbang antara rujukan nash (Al-Qur’an dan
al-Hadist) dengan penggunaan akal. Prinsip ini merujuk pada debat awal-awal
Masehi antara golongan yang sangat menekankan akal (mu’tazilah) dan golongan
fatalis.
Sikap netral (tawazun) berkaitan sikap dalam politik.
Aswaja memandang kehidupan sosial-politik atau kepemerintahan dari kriteria dan
pra-syarat yang dapat dipenuhi oleh sebuah rezim. Oleh sebab itu, dalam sikap
tawazun, pandangan Aswaja tidak terkotak dalam kubu mendukung atau menolak
sebuah rezim. Aswaja, oleh karena itu PMII tidak membenarkan kelompok ekstrim
yang hendak merongrong kewibawaan sebuah pemerintahan yang disepakati bersama,
namun tidak juga berarti mendukung sebuah pemerintahan. Apa yang dikandung
dalam sikap tawazun tersebut adalah memperhatikan bagaimana sebuah kehidupan
sosial-politik berjalan, apakah memenuhi kaidah atau tidak.
Keseimbangan (ta’adul) dan toleran (tasamuh)
terefleksikan dalam kehidupan sosial, cara bergaul dalam kondisi sosial budaya
mereka. Keseimbangan dan toleransi mengacu pada cara bergaul PMII sebagai
Muslim dengan golongan Muslim atau pemeluk agama yang lain. Realitas masyarakat
Indonesia yang plural, dalam budaya, etnis, ideologi politik dan agama, PMII pandang
bukan semata-mata realitas sosiologis, melainkan juga realitas teologis.
Artinya bahwa Allah SWT memang dengan sengaja menciptakan manusia berbeda-beda
dalam berbagai sisinya. Oleh sebab itu, tidak ada pilihan sikap yang lebih
tepat kecuali ta’adul dan tasamuh.
V. PRINSIP ASWAJA
SEBAGAI MANHAJ
Berikut ini adalah prinsip-prinsip Aswaja dalam
kehidupan sehari-hari. Prinsip-prinsip tersebut meliputi Aqidah, pengambilan
hukum, tasawuf/akhlak dan bidang sosial-politik.
1. AQIDAH
Dalam bidang Aqidah, pilar-pilar yang menjadi
penyangga aqidah Ahlussunnah wal-Jama’ah diantaranya yang pertama adalah aqidah
Uluhiyyah (Ketuhanan), berkait dengan ikhwal eksistensi Allah SWT.
Pada tiga abad pertama Hijriyah, terjadi banyak
perdebatan mengenai Esksitensi sifat dan asma Allah SWT. Dimana terjadi
diskursus terkait masalah apakah Asma Allah tergolong dzat atau bukan. Abu
Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H) secara filosofis berpendapat bahwa nama (ism)
bukanlan yang dinamai (musamma), Sifat bukanlah yang disifati (mausuf), sifat
bukanlah dzat. Sifat-sifat Allah adalah nama-nama (Asma’) Nya. Tetapi nama-nama
itu bukanlah Allah dan bukan pula selain-Nya.
Aswaja menekankan bahwa pilar utama ke-Imanan manusia
adalah Tauhid; sebuah keyakinan yang teguh dan murni yang ada dalam hati setiap
Muslim bahwa Allah-lah yang Menciptakan, Memelihara dan Mematikan kehidupan
semesta alam. Ia Esa, tidak terbilang dan tidak memiliki sekutu.
Pilar yang kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan
meyakini bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rosul sebagai
utusannya. Sebuah wahyu yang dijadikan sebagai petunjuk dan juga acuan ummat
manusia dalam menjalani kehidupan menuju jalan kebahagiaan dunia dan akhirat,
serta jalan yang diridhai oleh Allah SWT. Dalam doktrin Nubuwwat ini, ummat
manusia harus meyakini dengan sepebuhnya bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah
SWT, yang membawa risalah (wahyu) untuk umat manusia. Dia adalah Rasul
terakhir, yang harus diikuti oleh setiap manusia.
Pilar yang ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah keyakinan
bahwa nantinya manusia akan dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat dan setiap
manusia akan mendapat imbalan sesuai amal dan perbuatannya (yaumul jaza’). Dan
mereka semua akan dihitung (hisab) seluruh amal perbuatan mereka selama hidup
di dunia. Mereka yang banyak beramal baik akan masuk surga dan mereka yang
banyak beramal buruk akan masuk neraka.
2. BIDANG
SOSIAL POLITIK
Berbeda dengan golongan Syi’ah yang memiliki sebuah
konsep negara dan mewajibkan berdirinya negara (imamah), Ahlussunnah wal-jama’ah
dan golongan sunni umumnya memandang negara sebagai kewajiban fakultatif
(fardhu kifayah). Pandangan Syi’ah tersebut juga berbeda dengan golongan
Khawarij yang membolehkan komunitas berdiri tanpa imamah apabila dia telah
mampu mengatur dirinya sendiri. Bagi ahlussunnah wal jama’ah, negara merupakan
alat untuk mengayomi kehidupan manusia untuk menciptakan dan menjaga
kemashlahatan bersama (mashlahah musytarakah).
Ahlussunnah wal-Jama’ah tidak memiliki konsep bentuk
negara yang baku. Sebuah negara boleh berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi
(kerajaan) atau negara-modern/demokrasi, asal mampu memenuhi syarat-syarat atau
kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila syarat-syarat tersebut
tidak terpenuhi maka gugurlah otoritas (wewenang) pemimpin negara tersebut.
Syarat-syarat itu adalah:
- Prinsip Syura (musyawarah)
Negara harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil
segala keputusan dan setiap keputusan, kebijakan dan peraturan. Salah satu ayat
yang menegaskan musyawarah adalah sebagai berikut:
“Maka sesuatu apapun yang diberikan
kepadamu itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah
lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada
Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi
dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka
memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya
dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat
antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan
kepada mereka. Dan ( bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan
zalim mereka membela diri. (QS Al-Syura, 42: 36-39)
- Prinsip Al-‘Adl (Keadilan)
Keadilan adalah salah satu Perintah yang paling
banyak ditemukan dalam Al-Qur’an. Prinsip ini tidak boleh dilanggar oleh sebuah
pemerintahan, apapun bentuk pemerintahan itu. Berikut ini adalah salah satu
ayat yang memerintahkan keadilan.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS An-Nisa, 4:
58)
- Prinsip Al-Hurriyyah (kebebasan)
Negara wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi
warganya. Kebebasan tersebut wajib hukumnya karena merupakan kodrat asasi
setiap manusia. Prinsip kebebasan manusia dalam Syari’ah dikenal dengan
Al-Ushulul-Khams (prinsip yang lima), yaitu:
·
Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap kepemimpinan (negara) untuk
menjamin kehidupan setiap warga negara; bahwa setiap warga negara berhak dan
bebas untuk hidup dan berkembang dalam wilayahnya.
·
Hifzhu al-Din (menjaga agama); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin
kebebasan setiap orang memeluk, meyakini dan menjalankan Agama dan
Kepercayaannya. Negara tidak berhak memaksakan atau melarang sebuah agama atau
kepercayaan kepada warga negara.
·
Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin
keamanan harta benda yang dimiliki oleh warga negaranya. Negara wajib
memberikan jaminan keamanan dan menjamin rakyatnya hidup sesuai dengan martabat
rakyat sebagai manusia.
·
Hifzhu al-Nasl; bahwa negara wajib memberikan jaminan terhadap asal-usul, identitas,
garis keturunan setiap warga negara. Negara harus menjaga kekayaan budaya
(etnis), tidak boleh mangunggulkan dan memprioritaskan sebuah etnis tertentu. Hifzhu
al-Nasl berarti negara harus memperlakukan sama setiap etnis yang hidup di
wilayah negaranya.
·
Hifzh al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan
ataupun kedudukan setiap warga negara. Negara tidak boleh merendahkan warga
negaranya karena profesi dan pekerjaannya. Negara justru harus menjunjung
tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi setiap warga negara.
Al-Ushulul Khams identik dengan konsep Hak Azazi Manusia yang lebih dikenal dalam dunia
modern – bahkan mungkin di kalangan ahlussunnah wal-jama’ah. Lima pokok
atau prinsip di atas menjadi ukuran baku bagi legitimasi sebuah kepemerintahan
sekaligus menjadi acuan bagi setiap orang yang menjadi pemimpin di kelak
kemudian hari.
- Prinsip Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)
Bahwa manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. Antara
satu manusia dengan mausia lain, bangsa dengan bangsa yang lain tidak ada
pembeda yang menjadikan satu manusia atau bangsa lebih tinggi dari yang lain.
Manusia diciptakan berbeda-beda adalah untuk mengenal antara satu dengan yang
lain. Sehingga tidak dibenarkan satu manusia dan sebuah bangsa menindas manusia
dan bangsa yang lain. Dalam surat Al-Hujuraat disebutkan:
“Hai
manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(Al-Hujuraat, 49: 13)
Perbedaan bukanlah semata-mata fakta sosiologis,
yakni fakta yang timbul akibat dari relasi dan proses sosial. Perbedaan
merupakan keniscayaan teologis yang Dikehendaki oleh Allah SWT. Demikian
disebutkan dalam surat Al-Ma’idah.
Untuk tiap-tiap umat diantara kamu,
Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya
kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah
kamu perselisihkan itu. (Al-Maidah; 5: 48)
Dalam sebuah negara kedudukan warga negara adalah
sama. Orang-orang yang menjabat di tubuh pemerintahan memiliki kewajiban yang
sama sebagai warga negara. Mereka memiliki jabatan semata-mata adalah untuk
mengayomi, melayani dan menjamin kemashlahatan bersama, dan tidak ada privilege
(keistimewaan) khususnya di mata hukum. Negara justru harus mampu mewujudkan
kesetaraan derajat antar manusia di dalam wilayahnya, yang biasanya terlanggar
oleh perbedaan status sosial, kelas ekonomi dan jabatan politik.
Dengan prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada
doktrin Negara Islam, Formalisasi Syari’at Islam dan Khilafah Islamiyah bagi
Ahlussunnah wal-Jama’ah. Sebagaimana pun tidak didapati perintah dalam
Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas untuk mendirikan salah satu di antara
ketiganya. Islam hanya diharuskan untuk menjamin agar sebuah pemerintahan –
baik negara maupun kerajaan – harus mampu memenuhi 4 (empat) kriteria di atas.
- BIDANG ISTINBATH AL-HUKM (Pengambilan Hukum Syari’ah)
Hampir seluruh kalangan Sunni menggunakan empat
sumber hukum yaitu:
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
3. Ijma’
4. Qiyas
Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam pengambilan
hukum (istinbath al-hukm) tidak dibantah oleh semua madzhab fiqh.
Sebagai sumber hukum naqli posisinya tidak diragukan. Al-Qur’an
merupakan sumber hukum tertinggi dalam Islam.
Sementara As-Sunnah meliputi al-Hadist dan segala
tindak dan perilaku Rasul SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh para Shabat dan
Tabi’in. Penempatannya ialah setelah proses istinbath al-hukm tidak
ditemukan dalam Al-Qur’an, atau digunakan sebagai komplemen (pelengkap) dari
apa yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an.
As-Sunnah sendiri mempunyai tingkat kekuatan yang
bervariasi. Ada yang terus-menerus (mutawatir), terkenal (masyhur)
ataupun terisolir (ahad). Penentuan tingkat As-Sunnah tersebut dilakukan
oleh Ijma’ Shahabah.
Menurut Abu Hasan Ali Ibn Ali Ibn Muhammad Al-Amidi, Ijma’
adalah Kesepakatan kelompok legislatif (ahl al-halli wa al-aqdi) dan ummat
Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Atau
kesepakatan orang-orang mukallaf dari ummat Muhammada pada suatu masa terhadap
suatu hukum dari suatu kasus.
Dalam Al-Qur’an dasar Ijma’ terdapat
dalam QS An-Nisa’, 4: 115 “Dan barang siapa menentang rasul sesudah
jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya
itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali.” Dan “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu
(umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia..” QS Al-Baqarah, 2: 143.
Qiyas, sebagai sumber hukum Islam, merupakan salah satu hasil ijtihad
para Ulama. Qiyas yaitu mempertemukan sesuatu yang tak ada nash hukumnya
dengan hal lain yang ada nash hukumnya karena ada persamaan ‘illat
hukum. Qiyas sangat dianjurkan untuk digunakan oleh Imam Syafi’i.
5. TASAWUF
Imam Al-Junaid bin Muhammad Al-Baghdadi menjelaskan
"Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan
dirimu dengan-Nya; Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah SWT
tanpa keterikatan apa pun."
Imam Abu Hamid Al-Tusi Al-Ghazali menjelaskan
“Tasawuf adalah menyucikan hati dari apa saja selain Allah… Aku simpulkan bahwa
kaum sufi adalah para pencari di Jalan Allah, dan perilaku mereka adalah
perilaku yang terbaik, jalan mereka adalah jalan yang terbaik, dan pola hidup
mereka adalah pola hidup yang paling tersucikan. Mereka telah membersihkan hati
mereka dari berbagai hal selain Allah dan menjadikannya sebagai saluran tempat
mengalirnya sungai-sungai yang membawa ilmu-ilmu dari Allah.”
“berada semata-mata bersama Allah SWT
tanpa keterikatan apapun” kata Imam Al-Junaid, lalu “menyucikan
hati dari apa saja selain Allah.... Mereka (kaum Sufi) telah
membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah..,” kata Imam Al-Ghazali.
Seorang sufi adalah mereka yang mampu membersihkan hatinya dari keterikatan
selain kepada-Nya.
Ketidakterikatan kepada apapun selain Allah SWT
adalah proses batin dan perilaku yang harus dilatih bersama keterlibatan kita
di dalam urusan sehari-hari yang bersifat duniawi. Zuhud harus dimaknai
sebagai ikhtiar batin untuk melepaskan diri dari keterikatan selain kepada-Nya
tanpa meninggalkan urusan duniawi. Mengapa? karena justru di tengah-tengah
kenyataan duniawi posisi manusia sebagai Hamba dan fungsinya sebagai Khalifah
harus diwujudkan.
Banyak contoh sufi atau ahli tasawuf yang telah zuhud
namun juga sukses dalam ukuran duniawi. Kita lihat saja Imam Al-Junaid adalah
adalah pengusaha botol yang sukses, Al-Hallaj sukses sebagai pengusaha tenun,
Umar Ibn Abd Aziz adalah seorang sufi yang sukses sebagai pemimpin negara,
Abu Sa’id Al Kharraj sukses sebagai pengusaha konveksi, Abu Hasan
al-Syadzily sukses sebagai petani, dan Fariduddin al-Atthar sukses sebagai
pengusaha parfum. Mereka adalah sufi yang pada maqomnya tidak lagi terikat
dengan urusan duniawi tanpa meninggalkan urusan duniawi.
Urusan duniawi yang mendasar bagi manusia adalah
seperti mencari nafkah (pekerjaan), kemudian berbuntut pada urusan lain seperti
politik. Dari urusan-urusan itu kita lantas bersinggungan dengan soal-soal
ekonomi, politik-kekuasaan, hukum, persoalan sosial dan budaya. Dalam Tasawuf
urusan-urusan tersebut tidak harus ditinggalkan untuk mencapai zuhud, justru
kita mesti menekuni kenyataan duniawi secara total sementara hati/batin kita
dilatih untuk tidak terikat dengan urusan-urusan itu. Di situlah zuhud kita
maknai, yakni zuhud di dalam batin sementara aktivitas sehari-hari kita tetap
diarahkan untuk mendarmabaktikan segenap potensi manusia bagi terwujudnya
masyarakat yang baik.
VI. PENUTUP
Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai manhaj al fikr
bersifat dinamis dan sangat terbuka bagi pembaruan-pembaruan. Sebagai sebuah
metode pemahaman dan penghayatan, dalam makna tertentu ia tidak dapat disamakan
dengan metode akademis yang bersifat ilmiah. Dalam metode akademik, sisi
teknikalitas pendekatan diatur sedemikian rupa sehingga menjadi prosedur yang
teliti dan nyaris pasti. Namunpun demikian dalam ruang akademis pembaharuan
atau perubahan sangat mungkin terjadi.
Sebagai metode berpikir, boleh jadi pada
saatnya nanti Aswaja akan memiliki kadar teknikalitas sama tinggi dengan metode
ilmiah. Namun dalam pandangan kami upaya pemahaman yang lebih komprehensif dan
mendalam terhadap Aswaja perlu kita upayakan bersama-sama terlebih dahulu. Khususnya
terhadap apa yang telah kami sajikan di sini, yang sangat butuh banyak masukan.
Sebuah kebutuhan lanjut, semacam jabaran teknis untuk memandu langkah per
langkah tindakan dan pandangan gerakan, akan muncul kemudian apabila kenyataan
lapangan sungguh-sungguh menuntut dan membutuhkannya. Akan tetapi sepanjang
kebutuhan primer kolektif kita masih terletak pada memahami, hal semacam
itu kami pandang belum menjadi kebutuhan obyektif.
ASWAJA Sebagai Manhajul Harakah
Oleh : Adien Jauharudin*
Pendahuluan
Sebelum panjang lebar
menjelaskan soal ASWAJA dan problem kekiniannya, ada baiknya bagi kalangan
nahdliyyin untuk mengirimkan al-fatihah untuk para pendiri NU, para pejuang NU;
Mbah Kholil Bangkalan, Mbah Hasyim, Mbah Wahab, Mbah Ahmad Siddiq, dll.......bagaimanapun
tanpa mereka NU tidak akan hadir, Islam Indonesia tidak akan seperti ini.
Mereka semua adalah panutan dan panduan yang selalu hidup. Mbah Kholil
Bangkalan adalah gurunya para guru, tanpa restunya tidak mungkin NU akan muncul
sebagai organisasi, Mbah Hasyim adalah rois akbar NU pertama, sebagai pahlawan
nasional juga sebagai sentrum ulama se-Jawa. Mbah Wahab adalah seorang
organisator, dinamisator, motivator dan inisiator ulung, ditangannya sebuah
organisasi yang kecil dapat menjadi organisasi yang besar, kuat dan rapih dan
Mbah Ahmad Siddiq adalah konseptor ulung NU, ditangannya telah lahir
torehan-torehan sejarah; Deklarasi Hubungan Pancasila dan Islam, Pedoman
Berfirkir Nahdlatul Ulama, Khittah Nahdliyyah.....semoga mereka akan selalu menyertai
derap langkah, gerak dan dakwah kita.....dan mereka ditempatkan disisi-Nya
secara mulia. Amien.
Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA) pada
awalnya adalah sebuah gambaran simple tentang Islam, dimana ada beberapa hadits
nabi yang menjelaskan tentang kata-kata “Ahlussunnah wal Jama’ah, kalau mau
selamat harus mengikuti pola keagamaan seperti yang digambarkan oleh Rasulullah
SAW, dengan berpegangan teguh terhadap al-Qur’an, As-sunnah, mengikuti jejak
sunnah beliau, dan para sahabat khulafaurrosyidin. ASWAJA menjadi rumit adalah
pada tahap berikutnya ketika masalah-masalah ummat Islam mulai bermunculan dan
tidak ada model pemecahannya pada zaman Rasul; dari mulai masalah politik
kenegaraan, pemberontakan, munculnya ilmu kalam, mantiq, motodologi hukum
Islam, dan problem-problem lainnya. Disinilah arus baru dimulai, yaitu sebuah
arus dimana perpecahan antar kelompok ummat Islam tidak bisa dihindari,
terlebih lagi ketika pandangan, pemahaman, dan ajaran sudah menjadi ideologi,
maka konsekuensinya adalah membuat seperangkat aturan, kode etik, pedoman
berfikir, teori pengetahuan yang akan difungsikan untuk mengawal, mengamalkan
dan menyebarkan ideologi tersebut hingga akhir hayat.
Apabila kita cermati akan
tahapan-tahapan sejarah perkembangan ummat Islam, maka akan terlihat terbagi
dalam Lima (5) tahapan, Pertama, Masa awal Islam, pada masa
ini teks keagamaan masih hidup, dimana ada Rasulullah yang masih bisa menjadi
pusat ummat Islam, ada para sahabat yang senantiasa menjaga dan mengamalkan
sunnah-sunnah rasul. Semua persoalan ummat dapat ditanyakan secara langsung
kepada sumbernya. Tetapi pada masa ini hasil ijtihad sahabat sudah diakui dan
direstui oleh Rasul sebagai produk hukum, hal ini pernah terjadi pada sahabat
Mu’adz bin Jabal. Kedua, Munculnya perpecahan ummat Islam, ini
terjadi setelah kematian khalifah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Tholib dan
pengangkatan Muawiyah sebagai Khalifah. Disini sudah mulai terjadi
pertanyaan-pertanyaan, soal dosa besar; bagaimana hukumnya orang mukmin
membunuh orang mukmin, pakah termasuk dosa besar. Dari sini pula mulai muncul
firqah-firqah; Khawarij, Murji’ah, Syi’ah. Ketiga, Masa munculnya
ilmu-ilmu kalam, ini terjadi pada abad.....ketika ilmu kalam dan filsafat
bercampur dengan persoalan ketauhidan, pada masa ini muncullah aliran
Mu’tazilah yang merupakan arus dominan bahkan menjadi madzhab resmi negara pada
waktu itu, setelah itu perbedaan pendapat pun tidak bisa dihindari, munculah
Asy’ariyah dan Maturidiyah. keempat, runtuhnya khilafah Utsmani
di Turki. Keruntuhan khilafah ini membawa dampak luar biasa, baik itu pada soal
sikap keagamaan, pemerintahan. Pada masa ini terjadi dua persoalan besar apakah
perlu mendirikan kehilafahan yang baru atau negara-negara muslim menentukan
sendiri jalan hidupnya, dari sinilah lahir kongres ummat Islam di Arab
Saudi dan Mesir dan memunculkan aliran Wahabi penganut Abdul Wahab, di
Indonesia berdirinya “Nahdlatul Ulama” sebagai benteng kaum tradisional, Kelima,
mencuatnya gerakan–gerakan Islam kontemporer. Tema sentral dari munculnya
gerakan-gerakan Islam ini adalah persoalan “pemurnian ajaran Islam dari unsur
Takhayul, Bid’ah, dan Khurafat, dan sistem politik Islam”. Terhadap sistem
politik Islam terbagi dua, mereka yang memaksakan Islam harus menjadi negara
dan sebagian lagi Islam cukup menjadi syariah, ibadah dan etika sosial.
Dari lima tahapan sejarah perkembangan
gerakan Islam ini telah memunculkan pertanyaan-pertanyaan, kenapa selalu
terjadi perpecahan dalam diri ummat Islam?, kenapa kebesaran sejarah ummat
islam selalu lahir dari benturan politik? Kenapa sejarah kejayaan ummat Islam
selalu terputus?, adakalanya sejarah kekuatan politik yang muncul, sejarah
pergulatan pengetahuan yang muncul, tetapi habis itu hilang tanpa ada jejaknya!
Bangunan sejarah ummat Islam selalu
menampakan sisi sejarah yang timpang, kini tidak ada bangunan sejarah yang
terus “menjadi”, yang ada adalah sejarah yang selalu terputus, bahkan mengulang
perdebatan-perdebatan yang pernah ada sebelumnya; seputar bagaimana hukumnya
bid’ah, takhayul dan khurafat, bagaimana mendialogkan agama dan negara. Dalam
sejarah gerakan ummat Islam dunia yang terjadi adalah tragedi-tragedi
konspirasi, saling bunuh-membunuh, eksploitasi, ekspansi, dan terlibat
perselingkuhan dan persekongkolan yang besar antara kekuatan gerakan Islam dengan
negara-negara barat.
Apa yang terjadi pada perkembangan
ummat islam di dunia, Indonesia pun mengalami sejarah yang serupa. Sejarah
perkembangan ummat Islam di Indonesia mengalami beberapa tahapan, pertama,
terjadinya proses penyebaran Islam oleh walisongo, pada fase ini terjadinya
proses dialog antara kebudayaan lokal dan Islama, proses ini terus “menjadi”
yang akhirnya menjadi wajah Islam Indonesia. Kedua, pada awal
abad 20, munculnya organisasi-organisasi massa islam, Sarekat Dagang Islam yang
kemudian berubah menjadi Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama,
Al-Irsyad, baik yang berbasis keagamaan maupun politik. Kemunculan organisasi
ini adalah sebagai bagain dari upaya membebaskan bangsa Indonesia dari
cengkraman kolonial dan menyebarkan faham keagamaan menurut pemahaman
organisasinya masing-masing. Ketiga, Fase perumusan konstitusi
dasar bangsa Indonesia dan mulai munculnya perdebatan ideologi tentang perlu
tidaknya piagam Jakarta menjadi salah satu butir dalam pancasila. Keempat,
munculnya Islam politik. Kelima, mencuatnya gerakan-gerakan
Islam, baik karena perbedaan pemahaman keagamaan, faktor kepentingan politik,
maupun karena motif ekonomi, seperti; Daarul Arqom, LDII, Islam Jama’ah,
dll. Keenam, pada fase ini, umat Islam dihadapkan pada berbagai
gagasan-gagasan yang bersumber dari barat, seperti; modernisasi, pembangunan,
demokratisasi, keadilan, gender, Hak Asasi Manusia, multikulturalisme.
Disamping dihadapkan pada isu, muncul pula gerakan-gerakan Islam puritan yang
mengetengahkan isu politik Islam dan “pemurnian ajaran Islam”, seperti ;
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Forum
Komunikasi Ahlussunnah wal Jama’ah (FKAWJ). Pada saat ini varian isu dan
gerakannnya lebih luas.
Dari perkembangan sejarah ummat Islam
ini, dimanakah posisi Nahdlatul Ulama? Nahdlatul Ulama dalam sejarahnya telah
membuktikan diri sebagai kekuatan bangsa Indonesia yang sangat diperhitungkan,
nasionalismenya bisa menjadi titik temu antara Islam dan nasionalis, agama dan
negara. Pola keagamaannya dapat menjadi titik temu antara kebudayaan lokal dan
Islam. fikroh Nahdliyahnya bisa menjadi titik temu antara kepentingan agama,
masyarakat, negara dan pasar. Dengan jaringan modal sosial, politiknya yang
kuat, NU menjadi kekuatan bangsa yang diperhitungkan dan menjadi mediator
kepentingan kelompok-kelompok Islam dunia.
ASWAJA menjadi kata kunci dalam
membangun NU dan Indonesia ke depan, sejauhmana nilai-nilai ASWAJA bisa
ditransformasikan keluar dan diinternasilasikan kedalam NU sendiri dan ASWAJA
menjadi ruh dari Islam Indonesia itu sendiri. Kiranya perlu untuk mengkaji
beberapa pemikiran tokoh-tokoh NU, agar ASWAJA dapat diformulasikan menjai
manhajul harakah, mereka antara lain; KH. Hasyim Asy’ari, KH. Bisri Syamsuri,
KH. Achmad Siddiq, KH. Bisri Musthofa, KH. Dawam Anwar, KH. Muchit Muzadi, KH.
Wahid Zaini, KH. Saifuddin Zuhri, KH. Sahal Mahfudz, KH. Tolchah Hasan dan Kh.
Said Aqil Siradj
Aswaja dalam Ruang Lingkup dan Tradisi
NU
Setting sosial, politik, ekonomi yang
melandasi lahirnya NU
Kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) adalah
hasil dari proses sejarah yang sangat panjang, yang sebelumnya sudah ada
berbagai embrio menjelang kelahirannya. Embrio-embrio tersebut adalah:
1. Pada
bidang ekonomi, kalangan ulama-ulama NU sudah memikirkan jauh sebelum lahirnya
bayi Nahdlatul Ulama dengan membentuk mata rantai, jaringan saudagar santri
yang disebut dengan “Nahdlatut Tujjar” pada tahun 1918. Kelahirannya sebagai
bentuk perlawanan terhadap kolonial Belanda dan para pengusaha Cina.
2.
Pada bidang politik adalah dengan menggalang tokoh-tokoh nasional dan lokal
pada waktu itu untuk turut serta membangun kesadaran kebangsaan melalui
pendidikan, maka muncullah “Nahdlatul Wathan” pada tahun 1916 yang dalam
perjalanannya mengalami perkembangan yang sangat pesat.
3.
Pada bidang intelektual dan diskusi pemikiran telah lahir “Taswirul Afkar” pada
tahun 1922, meskipun Taswirul Afkar ini pada pase selanjutnya melebur menjadi
lembaga pendidikan bergabung bersama Nahdlatul Wathan, tetapi dari hasil diskusi
gagasan dan pemikirannya cukup mempengaruhi dalam membangkitkan kesadaran
nasionalisme rakyat.
4. Lahirnya
Nahdlatul Ulama adalah mata rantai dari perjuangan panjang Wali Songo, dimana
Wali Songo menyebarkan Islam melalui cara-cara persuasif melalui pendekatan
kebudayaan (asimilasi budaya) bukan dengan kekerasan seperti penyebaran
Islam di berbagai belahan dunia lainnya. Nahdlatul Ulama menjadi besar karena
kemampuannya dalam mengakomodir dan mengapresiasi kebudayaan lokal dan
menjadikannya sebagai basis kekuatan kebudayaan dan tradisi bangsa.
5. Lahirnya
Nahdlatul Ulama adalah sebagai bentuk “perlawanan” terhadap ideologi
trans-nasional “Wahabi” yang hendak menyeragamkan ideologi tersebut ke seluruh
penjuru dunia dan menjadikan Saudi Arabia sebagai satu-satunya pusat
kekhalifahan Islam.
Secara bahasa, ada tiga kata yang
membentuk istilah Ahlussunnah wal Jama’ah;
1. Ahl,
berarti keluarga, golongan atau pengikut.
2.
Al-Sunnah, yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah
SAW. Maksudnya, semua yang datang dari Nabi, berupa perbuatan, ucapan dan
pengakuan Nabi Muhammad SAW (Fath al-Bari, juz XII, hal. 245)
3. Al-Jama’ah,
yakni apa yang disepakati oleh oleh para sahabat Rasulullah SAW pada masa
Khulafaur Rasyidin (Khalifah Abu Bakr, Umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan
dan Ali bin Abi Thalib). Kata al-Jama’ah ini diambil dari sabda Rasulullah SAW “Barangsiapa
yang ingin mendapatkan kehidupan yang damai di surga, maka hendaklah ia
mengikuti al-jama’ah (kelompok yang menjaga kebersamaan)”. (HR. Al-Tirmidzi
(2091), dan al-Hakim (1/77-78) yang nilainya shahih dan disetujui oleh
al-Hafizh al-Dzahabi).
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani (471-561
H /1077-1166 M) juga menjelaskan:
“Al-Sunnah adalah apa yang telah
diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan
beliau). Sedangkan al-Jama’ah adalah sesuatu yang telah menjadi kesepakatan
para sahabat Nabi pada masa Khulafaur Rasyidin yang empat, yang telah diberi
hidayah (mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepada mereka semua)”. (Al-Ghunyah
li Thalibi Thariq al-Haqq, juz I, hal. 800).
Lebih jelas lagi, Hadlrotussyaikh KH.
Hasyim Asy’ari (1287-1336 H/ 1871-1947) menyebutkan dalam kitabnya Ziyadah
at-Ta’liqat (hal. 23-24) sebagai berikut:
“Adapun Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan
ahli fiqih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi
Muhamad SAW dan sunnah Khulafaur Rasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok
yang selamat (al-firqah al-najiyah). Mereka mengatakan, bahwa kelompok tersebut
sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang empat, yaitu pengikut Madzhab Hanafi,
Syafi’i, Maliki dan Hambali.”
Ahlussunnah adalah mereka yang
mengikuti dengan konsisten semua jejak-langkah yang berasal dari Nabi Muhammad
SAW dan membelanya. Mereka mempunyai pendapat tentang masalah agama baik yang
fundamental (ushul) maupun divisional (furu’). Sebagai bandingan
Syi’ah. Di antara mereka ada yang disebut “Salaf”, yakni generasi awal
mulai dari para Sahabat, Tabi’in dan Tabiut Tabi’in, dan ada juga yang disebut “Kholaf”,
yaitu generasi yang datang kemudian. Di antaranya ada yang toleransinya luas
terhadap peran akal, dan ada pula yang membatasi peran akal secara ketat. Di
antara mereka juga ada yang bersikap reformatif (mujaddidun) dan di
antaranya lagi bersikap konservatif (muhafidhun). Golongan ini merupakan
mayoritas umat Islam.
ASWAJA dan Tradisi Berfikih
Kalau pada masa Asy’ariyyah dan
Maturidiyyah perdebatan ASWAJA lebih banyak pada persoalan teologi, maka pada
fase munculnya jam’iyyah Nahdlatul Ulama perdebatan ASWAJA lebih pada persoalan
fiqih (persoalan furu’) termasuk bagian di dalamnya adalah persoalan khilafiyah
(variable-variable furu’).
Secara definisi ilmu fiqih adalah:
“Ilmun bi al-ahkam al-syar’iyyah
al-‘amaliyyah al-muktasabu min adillatiha al-tafsiliyyah”, (fiqih adalah
ilmu hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalil yang
terperinci).
Definisi ini mengandung tiga substansi
dasar yang sangat krusial, pertama, ilmu fiqih adalah ilmu yang paling
dinamis karena ia menjadi petunjuk moral bagi dinamika sosial (af’alul
mukallafin) yang selalu berubah dan kompetitif. Kedua, ilmu fiqih
sangat rasional, mengingat ia adalah ilmu iktisabi (ilmu hasil kajian,
analisis, penelitian, generalisasi, konklusiasi). Di sini terjadi kontak
sinergis antara sumber transendental (adillah) dan rasionalitas (mujtahid).
Ketiga, fiqih adalah ilmu yang menekankan pada aktualisasi, real
action, atau bisa dikatakan amaliyah, bersifat praktis sehari-hari. Fiqih
juga harus berhubungan erat dan sinergis dengan problematika manusia, karena
fungsi fiqih adalah mengarahkan, mendorong, dan meningkatkan perilaku manusia
agar sesuai dengan tuntutan agama. Perilaku manusia tentu tidak terbatas pada
wilayah ibadah mahdhah yang sangat terbatas, namun juga mencakup aspek
ekonomi, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, kependudukan dan sosial
tersebut. Fiqih harus tampil menjadi solusi atas berbagai problem sosial
tersebut.
Tradisi berfikih NU mengukuti empat
madzhab; Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad ibnu Hambal
ASWAJA dan Tradisi Tasawwuf
Kemunculan tasawuf bukan baru terjadi
pada generasi muta’akhirin, tetapi sudah ada pada zaman Rasulullah SAW.
Bedanya, istilah ke-tasawuf-an baru dikenal pada generasi muta’akhirin, sementara
pada masa Rasulullah istilah ke-tasawuf-an belumlah dikenal, melainkan yang
disebut “ke-zuhud-an”.
Dalam tradisi NU, ada empat puluh lima
(45) Thariqat Mu’tabarah (Tarekat yang diakui dan dianggap pegangan),
dan dianggap sanadnya muttashil (bersambung) ke rasulullah SAW, yaitu;
1) Rumiyyah, 2) Rifa’iyyah, 3) Sa’diyah, 4) Bakriyah, 5) Justiyah, 6) Umariyah,
7) Alawiyah, 8) Abbasiyah, 9) Zainiyah, 10) Dasuqiyah, 11) Akbariyah, 12)
Bayumiyah, 13) Malamiyah, 14) Ghaibiyah, 15) Tijaniyah, 16) Uwaisiyah, 17) Idrisiyah,
18) Samaniyah, 19) Buhuriyah, 20) Usyaqiyah, 21) Kubrawiyah, 22) Maulawiyah,
23) Jalwatiyah, 24) Baerumiyah, 25) Ghazaliyah, 26) Hamzawiyah, 27) Haddadiyah,
28) Matbuliyah, 29) Sunbuliyah, 30) ‘Idrusiyah, 31) Utsmaniyah, 32)
Syadziliyah, 33) Sya’baniyah, 34) Kalsyaniyah, 35) Khadhiriyah, 36)
Syathariyah, 37) Khalwatiyah, 38) Bakdasyiyah, 39) Syahrawardiyah, 40)
Ahmadiyah (Thariqah), 41) ‘Isawiyah Gharbiyah, 42) Thuruqi Akabiril Auliya’,
43) Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, 44) Khalidiyah wa Naqsyabandiyah, 45) Ahli
Mulazamat al-Qur’an was Sunnah wa Dalailil Khairati wa Ta’limi Fathil Qaribi aw
Kifayat al-Awami. Thariqat-thariqat tersebut dijadikan pegangan dan rujukan
oleh organisasi “Jam’iyyah Ahli Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah”,
Organisasi Tarekat se-Indonesia, yang berada di bawah payung organisasi
Nahdlatul Ulama.
NU dan Wawasan Strategis
Konsepsi Ahlussunnah wal
Jama’ah (ASWAJA) yang telah diintegrasikan ke dalam tubuh Nahdlatul Ulama dan
dijadikannya sebagai pedoman, dalam perkembangannya bukan hanya melandasi
sebatas persoalan-persoalan keagamaan (baik itu menyangkut aqidah maupun
masalah-masalah fiqihiyyat) tetapi lebih dari itu menjadi landasan dalam
bersikap, bertindak, berpikir dan beragama. Dalam beberapa kali Muktamar NU,
ASWAJA selalu menjadi pembahasan yang sangat hangat dan menarik, bahkan
forum-forum kaum muda NU non-struktural (mereka adalah anak-anak muda NU yang
berada di jalur kultural) selalu menyita perhatian dan menjadikannya
topik-topik diskusi yang menarik.
Pembahasan yang cukup
menghangat adalah apakah ASWAJA ini sebagai teologi-dogmatik, ataukah
sebagai Manhajul Fikr, Manhajun Nahdlah, atau mungkin sebagai Harakah?
Cukup menarik mencermati berbagai pertanyaan KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus),
bagaimana sikap ASWAJA dalam kehidupan sehari-hari? Bagaimana ASWAJA dalam
berpolitik, dalam berekonomi dan berbudaya? Bahkan dalam kehidupan sehari-hari,
ASWAJA diartikan sangat sederhana sekali, baik itu oleh kalangan para da’i-da’i
NU; orang NU yang berhaluan ASWAJA adalah yang mengikuti salah satu dari empat
madzhab, yang bertasawuf mengikuti Thariqat Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam
al-Ghazali, yang suka tahlilan, barjanzian, ziarah kubur, manakiban, qunutan,
tarawih 20 rakaat.
Kekhawatiran ini bisa
dipahami, karena memang Nahdlatul Ulama dari awal pendiriannya, termasuk dalam
“Qanun Asasi”-nya KH. Hasyim Asy’ari tidak menyebutkan secara jelas mengenai
konsepsi ASWAJA, yang dijelaskan hanya Madzhab al-‘Arba’ah (madzhab yang
empat), selebihnya, tidak ada rumusan baik dalam pergaulan sosial, politik,
ekonomi maupun kebudayaan. Tafsiran-tafsiran ASWAJA berikutnya dilandaskan pada
nilai-nilai, manhajul fikr, sehingga menjadi rumusan yang hadir seperti
sekarang ini. Pelembagaan ASWAJA sehingga menjadi seperti sekarang ini, disusun
setelah Mbah Hasyim wafat, pada eranya KH. Bisyri Samsuri yang kemudian
disistematisir lagi pada eranya KH. Achmad Siddiq. Karena dari awalnya ASWAJA
bukan sebagai lembaga, hanya sebagai landasan berfikir dan landasan bergerak,
maka lebih tepat lagi kalau disusun ASWAJA sebagai manhajul harakah yang akan
berfungsi untuk menggerakkan roda jam’iyyah dan jama’ah NU.
Harus dipahami, bahwa
ASWAJA dalam tubuh NU selama ini masih menjadikan NU stagnan dengan segala
potensinya yang ada, baik itu potensi ekonomi, politik, sosial maupun budaya.
Dari banyak potensi ini semuanya belum menggerakkan NU menjadi sebuah
organisasi yang solid, rapih dan sejahtera. Selama ini yang menjadikan NU
mengakar adalah karena adanya ikatan-ikatan tradisional yang semuanya tidak
terlepas dari hubungan guru-murid maupun ulama-rakyat. Sistem patronase
kepemimpinan ulama inilah yang menguatkan kelembagaan ASWAJA dalam masyarakat
NU.
PBNU pernah melakukan
rumusan-rumusan ASWAJA dalam empat wawasan strategis dalam Muktamar NU ke-27
No. 002/MNU/1984, yaitu: wawasan tentang ke-NU-an sendiri, wawasan tentang
ke-Islam-an, wawasan tentang ke-Indonesia-an. Dan wawasan tentang ke-Semesta-an
(universalitas = internasionalitas = seluruh kemanusiaan). Empat wawasan
strategis inilah yang coba menghadirkan NU pada setiap masa dan dengan wawasan
inilah NU masih dianggap sebagai organisasi massa Islam yang moderat, meskipun
anggapan ini terkadang ada untungnya tetapi juga ada ruginya. Untungnya adalah
dengan dianggapnya NU sebagai organisasi yang moderat maka percaturan politik
ekonomi dan sosial nasional tetap harus melibatkan NU, tetapi nilai ruginya
adalah dengan anggapan ini menjadikan NU selalu berada pada pihak yang
dikorbankan, baik oleh negara, pemilik modal maupun kekuatan jaringan
internasional.
Aswaja dari Madzhabi ke Manhaji
Ada beberapa konsep - konsep yang
beberapa di antaranya pernah menjadi keputusan dalam Muktamar dan Munas NU,
seperti Khittah Nahdliyah, Mabadi Khaira Ummah, Fikrah Nahdliyah dan Maslahah
Ummah. Tiga konsep dari keempat konsep tersebut menjadi keputusan Nahdlatul
Ulama (Khittah Nahdliyah merupakan keputusan Muktamar NU ke 26, Mabadi Khaira
Ummah merupakan keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU tahun 1992, Fikrah
Nahdliyah merupakan keputusan Msyawarah Nasional Alim Ulama NU tahun 2006),
sementara Maslahah Ummah belum menjadi keputusan Muktamar NU, hanya saja
persoalan kemaslahatan ummah sudah ada rumusan dari beberapa tokoh-tokoh NU.
Adanya konsep-konsep ini menurut
penulis adalah sebagai wujud dari transformasi dan internalisasi nilai-nilai
ASWAJA agar lebih dapat dipahami, dan bagi warga Nahdlatul Ulama dapat menjadi
panduan dalam berfikir dan bertindak. Pada kenyataannya konsep-konsep ini bukan
hanya sebatas menjelaskan pada aturan-aturan keagamaan, tetapi juga menyentuh
pada persoalan kebudayaan, kebangsaan, politik, dan ekonomi. Hanya saja
rumusan-rumusan ini terkadang tidak disertai dengan turunan konsep yang utuh
sehingga menjadi program NU yang aplikatif.
Sebagai sebuah organisasi massa yang
besar, NU dalam pengambilan segala keputusannya memang cenderung sangat
hati-hati, selalu dipikirkan akibat, resiko dan maslahatnya. Keputusannya
selalu mendasarkan pada teks-teks keagamaan, baik itu dari al-Qur’an,
al-Hadits, al-Qiyas, al-Ijma’, Qawa’id Ushul Fiqh, Istihsan, dan metodologi-metodologi
lainnya. Maka konsep-konsep strategis yang diputuskan NU seyogyanya menjadi
panduan dan pegangan kita untuk dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Perubahan alur dari madzhabi ke
manhaji adalah sebuah landasan konsepsional dan teoritis, dimana madzhab adalah
aliran yang di dalamnya memuat seperangkat aturan-aturan, nilai-nilai,
norma-norma, metodologi, dan dalam prakteknya sudah diamalkan oleh seluruh
warga NU dengan mengikuti madzhab teologi, madzhab fiqih, dan madzhab tasawuf.
Sementara manhaji adalah sebuah konsep metodologis yang selalu berkembang dan
berubah sesuai dengan tuntutan zaman, dalam hal ini perubahan-perubahan ini
tidak sebatas pada persoalan “Fiqih-Ushul Fiqihnya” saja, tetapi juga harus
mampu mengembangkan fiqih-fiqih sektoral, detail seperti fiqih perburuhan,
pertambangan, perempuan, fiqih trafficking, fiqih nelayan, fiqih
agraris, dan lain-lain. Tetapi fiqih-fiqih sektoral ini sekali lagi, tidak
terlepas dari konteks memperkuat Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, dan bukan sebaliknya
memperkeruh dan memporak-porandakan konsep-konsep fiqhiyyat yang sudah
baku, terutama yang sudah diamalkan oleh kalangan pesantren dan
kalangan-kalangan ulama NU.
Apa yang telah tersusun dalam madzhab
teologi, fiqih dan madzhab tasawuf sudah memuat aturan yang sudah baku, maka
yang kita kembangkan dalam hal ini hanya menyangkut persoalan-persoalan fiqih
baik itu pada persoalan kaidah ushul fiqih maupun substansi fiqih dengan tetap
melandaskan pandangan intinya pada ketentuan yang sudah baku.
Banyak persoalan-persoalan yang
dihadapi umat saat ini membutuhkan penyelesaian dengan cepat dan tepat yang
bukan hanya berkutat pada persoalan ‘ubudiyah saja, melainkan pada aspek
penataan keadilan ekonomi dan kesejahteraan. Bagaimana menyelesaikan sengketa
buruh-majikan dalam sebuah kasus perusahaan dalam perspektif fiqih, bagaimana
fiqih menyusun konsep-konsep keadilan ekonomi masyarakat kecil yang saat ini
dilanda berbagai kesulitan ekonomi karena dihadapkan pada krisis yang
berkepanjangan dan pasar yang tidak berpihak, bagaimana penyelesaian para
TKW/TKI yang tidak bisa diselesaikan oleh negara, sementara negara dan kalangan
pengusaha PJTKI swasta hanya memeras keringat para TKW/TKI tersebut, bagaimana
menyelesaikan persoalan trafficking perempuan, anak, dan apa
konsep-konsep konkrit menurut fiqih, termasuk bagaimana menyelesaikan kemelut
politik dalam tubuh partai politik seperti PKB dan jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA) ditantang untuk bisa menyelesaikan
persoalan-persoalan tersebut.
Khittah NU adalah landasan berpikir,
bersikap dan bertindak warga NU, secara individual maupun secara organisatoris.
Landasan itu adalah paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang diterapkan menurut
kondsi kemasyarakatan Indonesia. Khittah ini juga digali dari sejarah
perjuangan NU.
Muatan isi Khittah adalah ;
Dasar-dasar paham keagamaan NU, Sikap Kemasyarakatan NU, Perilaku keagamaan dan
sikap kemasyarakatan NU, Ikhtiar-ikhtiar yang sudah dilakukan NU, Fungsi
organisasi dan pelayanan kepemimpinan ulama, Hubungan NU dan Kehidupan
bernegara.
Nilai-nilai Khittah sendiri sebenarnya
menemukan momentumnya saat ini, pertama, adanya kampanye perlawanan
terhadap ideologi transnasional yang saat ini sudah merasuk ke dalam
sendi-sendi bangsa Indonesia, kedua, adanya krisis kebangsaan yang cukup
akut, dimana kesadaran kebangsaannya mulai luntur, Pancasila tidak lagi
dijadikan landasan atau falsafah hidup dan bernegara, pelaksanaan otonomi yang
berlebihan sehingga hampir-hampir kita tidak hafal lagi berapa jumlah propinsi
di Indonesia, berapa jumlah kabupaten atau kota di seluruh Indonesia, dan
berapa jumlah lembaga-lembaga ataupun komisi tinggi negara.
Kaitannya dengan pengamalan Khittah
saat ini adalah sudah saatnya Nahdlatul Ulama dan organisasi underbow-nya
merumuskan dan menentukan langkah-langkah strategis dalam menjaga keutuhan NKRI
dan juga mempertahankan ke-nusantara-an kita yang saat ini sudah terkoyak-koyak
dengan adanya berbagai proyek internasionalisasi kasus-kasus yang terjadi di
dalam negeri.
Sekali lagi, bahwa Khittah adalah
“pedoman” yang merupakan induk dari konsep-konsep turunannya; “Mabadi Khaira
Ummah, Fikrah Nahdliyah dan berbagai konsep Maslahah ummah” yang
harus diimplementasikan dan dijadikan rujukan dengan tetap menggunakan
asas-asas kepeloporan, kemandirian dan kesinambungan. Artinya, bagaimana dengan
Khittah NU mampu menjadi garda depan dalam merespon setiap perkembangan zaman,
bukan sebagai kuda tunggangan kekuasaan atau kepentingan kelompok-kelompok
lain. Meminjam istilah Ahmad Baso, NU harus menjadi “Fa’il” bukan “Maf’ul”
menjadi subyek bukan obyek.
Sementara Konsepsi Dasar Mabadi Khaira
ummah adalah sebuah konsep yang berangkat dari kegagalan membangun perekonomian
NU, penataan organisasi dan memperkuat pola silaturahmi antara warga NU dan para
pimpinan NU.
Pada mulanya, prinsip dasar Mabadi
Khaira Ummah hanya mengenal tiga prinsip dasar, yaitu; as-Sidq
(kejujuran), al-Amanah wal Wafa’ bil ‘Ahdi (dapat dipercaya dan
teguh memegang janji) dan at-Ta’awun (gotong royong), tetapi dalam
perjalanannya, penjabaran atas konsep ini semakin sistematis dan terumuskan,
sehingga terjadi penambahan prinsip menjadi lima prinsip, yaitu: As-Sidq,
al-Amanah wal Wafa’ bil ‘Ahdi, al-‘Adalah, at-Ta’awun, dan Istiqomah.
Lima nilai di atas tersebut jika
dilaksanakan, maka akan menjadi seorang muslim yang sempurna, dimana seorang
muslim yang sempurna adalah yang terdapat kesesuaian antara ucapan, pikiran dan
tindakan. Segala perbuatan baik yang dilakukan oleh seorang muslim haruslah
berkesinambungan, jangan setengah-setengah, diperlukan adanya totalitas dan
kesungguhan, karena itulah kunci dari keberhasilan. Diperlukan sebuah nilai
ketulusan, keikhlasan, dan keberanian untuk memulai sesuatu yang diyakini benar
dan akan bermanfaat buat diri sendiri dan masyarakat.
Keberadaan Fikrah Nahdliyyah sendiri
dilandaskan pada beberapa hal, pertama, adanya landasan historis
mengenai berdirinya Nahdlatul Ulama, bahwa berdirinya NU adalah respon terhadap
adanya pertarungan ideologi, antara ideologi Islam tradisional dan Islam modernis,
kedua, banyaknya kejadian-kejadian yang berkembang, dimana banyak
kelompok-kelompok atau individu-individu yang mengatasnamakan NU tetapi sikap,
pikiran dan tindakannya sudah tidak lagi mencerminkan kepentingan jam’iyyah NU.
Oleh karena itu Fikrah Nahdliyyah ini adalah semacam panduan yang dinetralisasi
dari nilai-nilai ASWAJA NU. Yang dimaksud dengan Fikrah Nahdliyyah adalah
kerangka berfikir yang didasarkan pada ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah yang
dijadikan landasan berfikir Nahdlatul Ulama (Khittah Nahdliyyah) untuk
menentukan arah perjuangan dalam rangka ishlah-ummah (perbaikan umat).
Khashaish (ciri-ciri) Fikrah
Nahdliyyah adalah:
1. Fikrah Tawassuthiyah (pola pikir moderat), artinya
Nahdlatul Ulama senantiasa bersikap Tawazun (seimbang) dan I’tidal
(adil) dalam menyikapi berbagai persoalan. Nahdlatul Ulama tidak tafrith
atau ifrath.
2. Fikrah Tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya
Nahdlatul Ulama dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain
walaupun aqidah, cara berfikir, dan budayanya berbeda.
3. Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artinya
Nahdlatul Ulama senantiasa mengupayakan perbaikan menuju ke arah yang lebih
baik (al-ishlah ila ma huwa al-ashlah).
4. Fikrah Tathowwuriyah (pola pikir dinamis), artinya
Nahdlatul Ulama senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai
persoalan.
5. Fikrah Manhajiyyah (pola pikir metodologis), artinya
Nahdlatul Ulama senantiasa menggunakan kerangka berfikir yang mengacu kepada
manhaj yang telah ditetapkan oleh Nahdlatul Ulama.
Selain “Fikrah Nahdliyah” yang
sudah menjadi ketetapan Nahdlatul Ulama, barangkali penulis juga perlu
mengemukakan “beberapa pokok-pokok fikiran KH. Achmad Siddiq yang berkaitan
dengan Fikrah Nahdliyyah”. KH. Achmad Siddiq merumuskan “Lima Dalil
Perjuangan dan Lima Dalil Hukum”, hasil rumusan ini
ditujukan untuk; 1) Mempersamakan alam pikiran di dalam NU dan menciptakan
norma di dalam menilai dan menanggapi segala persoalan kehidupan, 2) Menjaga
alam pikiran NU dari penetrasi modernisme, westernisme, dan
aliran-aliran lain yang merusak kemurnian Islam dan kepribadian NU, 3)
Memelihara dan mengembangkan watak, kepribadian NU dan Khittah NU.
Pokok-pokok pikiran KH. Achmad Siddiq
ini muncul pada masa itu, dimana westernisasi, kolonialisasi dan
komunisme masih menggejala di berbagai belahan negara muslim di dunia termasuk
Indonesia dan khususnya kepentingannya dalam memperkuat jam’iyyah Nahdlatul
Ulama. Meskipun “Fikrah Nahdliyah” versi KH. Achmad Siddiq ini belum resmi
menjadi keputusan NU, tetapi sebagian rumusannya dipakai oleh kalangan NU
bahkan termasuk dalam “Fikrah Nahdliyah” hasil keputusan Munas NU Surabaya yang
menambahkan “amar ma’ruf nahi munkar” dalam klausulnya.
KH. Achmad Siddiq menyusun Fikrah
Nahdliyah berangkat dari sejarah modernisme barat, mencakup watak, arah dan
hakikatnya, dengan cara:
1. Menelaah
latar belakang perkembangannya.
2. Kesejajarannya
dengan kepentingan penyebaran agama Kristen.
3. Watak
imperialismenya.
4. Strategi
dan skenario imperialisme barat dalam menghancurkan Islam.
5. Proyek-proyek
imperialisme yang bersifat internasional yang dapat menghancurkan umat Islam
dengan cara mendirikan suatu perguruan tinggi dengan nama ”al-Kulliyyah
al-Injliziyyah al-Syarqiyyah al-Muhammadiyah” dan membina seorang
yang bernama “Mirza Ghulam Ahmad”, yang kemudian mendirikan gerakan AHMADIYAH
QADIAN.
6. Imperialisme
barat melakukan pembinaan terhadap “Orang-orang Islam”, salah satunya adalah
MUSTHAFA KAMAL AT-TATURK yang berhasil menguasai Turki pada tahun 1924 dan
mensekulerkan Turki.
Bahwa modernisme barat selalu berusaha
untuk melemahkan jiwa Islam, fanatisme Islam, nilai-nilai ajaran Islam,
semangat jihad Islam, harga diri umat Islam, menimbulkan dan mengembangkan
mental pemujaan terhadap barat dan segala yang datang dari barat, dengan perkataan
lain, gejala-gejala yang lebih berbahaya sekarang ini bagi kita umat Islam
Indonesia dan umat Nahdliyyin khususnya ialah Westernisasi-modernisme,
terutama di bidang culture (kebudayaan, peny), civilitation
(peradaban, peny) dan pemikiran, dan Materialisme-Marxisme-Komunisme,
di bidang filsafat, politik dan ekonomi. Pembentengan terhadap umat Islam dan
Front Ahlussunnah wal Jama’ah khususnya dari bahaya-bahaya ini, haruslah
dilakukan dengan pemberian pengertian dan kesadaran seluas-luasnya kepada arah,
watak dan hakikat modernisme-westernisme yang jelas ingin melemahkan
Islam dan umatnya. Dan pemberian “Pedoman Berfikir Positif” ala Islam, ala
Ahlussunnah wal Jama’ah, ala Nahdlatul Ulama (Fikrah Islamiyah, Fikrah
Sunniyah, Fikrah Nahdliyah).
Sikap yang harus diambil oleh kalangan
generasi ASWAJA adalah:
1. MENILAI
MASA LALU, berarti: a) Mempertahankan nilai-nilai positif, hasil pemikiran
atau ijtihad generasi yang lalu (sahabat dan ulama mujtahidin), b)
Memurnikannya dari pengaruh atau percampuran unsur-unsur khurafat,
israiliyyat dan nashraniyat, adat dan kebiasaan yang bertentangan
dengan Islam.
2.
MENGEMBANGKAN MASA KINI, berarti: a) Menerima hal-hal baru yang
bermanfaat yang tidak bertentangan dengan Islam, serta mengembangkannya ke arah
yang bermanfaat dan sesuai dengan ajaran Islam, b) Menolak dan mencegah hal-hal
baru yang bertentangan dengan Islam atau membahayakan Islam.
3. MERINTIS
MASA DEPAN, berarti: a) Menciptakan konsepsi dan inisiatif baru di bidang
teknik perjuangan yang tidak bertentangan dengan azas dan haluan perjuangan
ISLAM ALA MADZHABI AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH, b) Mendorong untuk
berinisiatif dan berikhtiar untuk mengembangkan dan memenangkan azas dan haluan
perjuangan tersebut, c) Mengadakan usaha atau langkah preventif untuk menutup
atau mempersempit jalan berkembangnya hal-hal yang bertentangan dengan Islam
atau membahayakan Islam.
Lima dalil perjuangan adalah
patokan-patokan pikiran di dalam menanggapi soal perjuangan di bidang politik,
ekonomi, sosial, kebudayaan, dan lain-lain, penyusunan program
perjuangan, pelaksanaan program perjuangan.
Tanggapan, sikap dan program Nahdlatul
Ulama tentang masalah-masalah perjuangan didasarkan atas prinsip-prinsip,
patokan atau kaidah yang disebut “Lima Dalil Perjuangan”, yaitu: Jihad fi
Sabilillah, ‘Izzul Islam wal Muslimin, At-Tawassuth atau al-I’tidal
atau at-Tawazun, Saddudz Dzari’ah, Amar Ma’ruf-Nahi Munkar.
Lima dalil hukum adalah
patokan-patokan fikiran yang dipergunakan imam-imam Mujtahid di dalam
berijtihad atau beristinbath tentang masalah-masalah hukum agama Islam,
terutama oleh Imam-imam madzhab Syafi’i, antara lain ; Segala sesuatu dinilai
menurut niatnya, Bahaya harus disingkirkan, Adat kebiasaan dikukuhkan, Sesuatu
yang sudah yakin tidak boleh dihilangkan oleh sesuatu yang masih diragukan,
Kesukaran (ke-masyakkat-an) membuka kelonggaran.
Fikrah Nahdliyah yang disusun oleh KH.
Achmad Siddiq menjadi lebih detail dan sistematis, lebih jelas dimana posisi NU
harus berada, meskipun akan banyak bersinggungan dengan kelompok-kelompok lain
bahkan kalangan orang-orang NU sendiri yang selama ini sudah banyak keluar dari
rel NU.
Seperti diketahui, bahwa fakta kita
hari ini adalah terjadinya arus perang pemikiran dan paradigma besar-besaran di
kalangan kaum muda NU, sebagian dari mereka ada yang mengusung mati-matian
isu-isu demokrasi, pluralisme, gender. Sebagian di antara mereka melakukan
perlawanan-perlawanan naratif atau membuat pemikiran-pemikiran tandingan. Bisa
jadi arus perang pemikiran ini memang sengaja diciptakan atau menjadi skenario
besar dalam mencairkan dan meruntuhkan narasi-narasi yang dimiliki oleh NU.
Bangunan dari narasi ini semuanya terpusat dari kitab kuning,
sebuah kitab yang menjadi panduan kalangan ulama NU baik dalam
pengajaran, ta’lim-ta’lim di pesantren-pesantren, masjid-masjid,
madrasah-madrasah maupun majelis ta’lim, bahkan kitab kuning ini juga
menjadi rujukan dalam pengambilan hukum keagamaan di lingkungan Jam’iyyah
Nahdlatul Ulama.
Maka dengan melakukan reformasi isi kitab
kuning, apalagi kitab-kitab yang sangat private menyangkut hubungan
suami-istri dan guru-murid, yaitu “kitab ‘Uqud al-Lujain” dan “kitab
Ta’lim Muta’allim” yang keduanya merupakan kitab rujukan di kalangan
pesantren telah menimbulkan reaksi berbagai ulama NU. Jika sudah demikian, apakah
NU diuntungkan dengan cara seperti ini? Ataukah kehancuran sistematis sedang
melanda NU? Kiranya Fikrah Nahdliyah ini layak untuk
direnungkan.
Sementara untuk Persoalan “Masalahah
Ummah” sudah menjadi perhatian kalangan ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah
dari sebelum NU didirikan, hal ini sesuai dengan peran dan fungsi keberadaan
ulama yang memang menjadi tempat mengadu rakyat, mengayomi dan membantu
menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat sehari-hari, dari mulai persoalan
tata cara beribadah, menikah, mendoakan banyak rizki, menangani kelahiran,
sunatan, aqeqahan, qurban, menshalati, mengkafankan dan menguburkan
orang meninggal sampai mentahlilkan orang yang sudah meninggal.
Konsepsi dasar “Maslahah Ummah” ini
berangkat dari konsep penguatan, pengembangan, fasilitasi dan memperjuangkan
kepentingan umat baik secara ekonomi, pendidikan, kesehatan, keadilan dan
kesejahteraan. Jam’iyyah Nahdlatul Ulama yang didirikan oleh kalangan ulama
tentunya tidak bisa melepaskan diri dari fungsi ini, karena “Maslahah Ummah”
ini juga menjadi tujuan ditegakkannya syari’ah “Maqashid as-Syari’ah”.
Kemaslahatan sendiri adalah sebuah
perintah yang mendorong kepada ajakan kebaikan (amar ma’ruf), kebajikan,
dan menghindari dampak buruk, dan negatif (nahi munkar). Salah satu ciri
pemenuhan terhadap kemasalahan rakyat adalah adanya pemenuhan tiga kebutuhan
pokok; pemenuhan, sandang, pangan dan papan. Ketiga kebutuhan ini adalah
kebutuhan dasar setiap orang yang harus diperjuangkan, bahkan dalam
perintah-perintah al-Qur’an maupun kisah-kisah nabi dan para sahabat bahwa
pemenuhan hak-hak dasar ini menjadi lebih utama didahulukan ketimbang
berdakwah, sebagaimana sabda Nabi : “Kada al-fakru an yakuna kufran”,
(Kefakiran mendekatkan diri pada kekufuran). (HR. Abu Naim dari Anas).
Selain tercukupinya tiga hal di atas
tadi, indikator lain keberhasilan maslahah adalah apabila mampu memenuhi lima
hak dasar manusia, yaitu menjadi kebebasan beragama (hifzhu al-din),
melindungi keselamatan jiwa (hifzhu al-nafs), menjaga keamanan harta (hifzhu
al-mal), menjaga kebebasan berfikir (hifzhu al-aqli), menjaga
kelangsungan keturunan dan prestise (hifzhu al-nasli wa al-ird). Untuk
menjaga realisasi lima hak dasar ini, Islam mempunyai banyak instrumen. Qishas
disyari’atkan untuk menjaga keselamatan jiwa, orang murtad dibunuh untuk
menjaga agama, zina dihukum untuk menjaga nasab, orang yang menuduh zina
dihukum untuk menjaga sirik, pencuri dihukum untuk menjaga harta, dan
minum-minuman dihukum untuk menjaga akal. Dasar kaidah ini adalah sabda Nabi
Muhammad SAW: “Apa yang dianggap baik oleh orang-orang Islam, maka dalam
pandangan Allah, hal itu juga baik.” (HR. Ahmad bin Hambal)
Aswaja dari Manhajul Fikr ke Manhajul
Harakah
Untuk mensistematisir dan menyusun
secara konsepsional dari fikroh ke harakah maka basis argumentasinya harus
melandaskan pada akar-akar historis Nahdlatul Ulama dengan menyusun secara
lebih sistematis dan konsepsional gagasan-gagasan baru yang bersifat kritis,
dan kontektual, diantaranya adalah; bagaimana upaya menggerakkan Trilogi NU
yang pernal muncul dalam sejarah ke-NU-an; Nahdlatut Tujjar, Nahdlatul Wathon
dan Taswirul afkar, menggerakkan wawasan strategis ke-Aswaja-an; tradisi
nusantara, Menggerakkan kaum mustadh’afin, Menggerakkan pribumisasi Islam dan
Menggerakkan semangat kebangsaan
Pertama, bahwa secara historis ASWAJA adalah
sebuah “proses” yang lahir bukan terus “menjadi” tetapi terus “berkembang”
mengikuti dinamika zaman yang selalu berubah. ASWAJA secara historis
kelahirannya terbagi dalam dua fase; sebagai sebuah ajaran dan pemikiran yang
sudah lahir dari masa Rasulullah SAW, hal ini dibuktikan dengan adanya hadits
nabi yang menyebut kata “Ahlussunnah wal Jama’ah” sebagai golongan umat yang
akan selamat dari 72 golongan yang akan masuk neraka. Tetapi secara pelembagaan,
ASWAJA mulai hadir pada masa muculnya perpecahan aliran-aliran ilmu kalam yang
berujung pada “munculnya perumusan ilmu-ilmu fiqih”.
Kedua, ASWAJA dalam lingkup dan tradisi NU
menjadi sebuah konsep “pelembagaan ASWAJA” yang di dalamnya menyangkut rumusan
fiqih, akidah, dan rumusan tasawuf. Rumusan-rumusan ini membentuk “rumusan
pemikiran dan gerakan”. Disebut pemikiran, karena NU dengan konsep ASWAJAnya
mampu mengembangkan berbagai metodologi hukum-hukum syari’ah yang sebelumnya
tidak ada. Sementara disebut sebagai gerakan, karena ASWAJA selalu menjadi ruh
pergerakan para ulama, dari mulai membuat gerakan ekonomi, gerakan politik,
gerakan kebudayaan, gerakan keagamaan, gerakan pendidikan dan gerakan keba
Ketiga, dalam perjalanannya, ASWAJA Nahdlatul
Ulama menjadi ruh dalam menuangkan gagasan-gagasan strategis, yang kemudian
gagasan-gagasan ini juga diakui diakomodir sebagai agenda pembangunan nasional,
seperti; a) dengan adanya gagasan kembali ke Khittah Nahdliyah 1926, NU
berhasil membangun kemandirian organisasi, NU berhasil menjaga stabilitas
pembangunan, dan NU berhasil menjadi garda terdepan dalam menyebarkan Islam rahmatan
lil ‘alamin melalui gerakan Islam damai, dan Islam kebangsaan. Dengan
konsep pribumisasi Islam, NU telah menghadirkan dirinya menjadi kekuatan
tradisional yang progressif, transformatif, kritis dan konstruktif. Dan pada
akhirnya NU menjadi pelopor bagi terbentuknya “Islam Indonesia” dan
menjadikannya sebagai model bagi pengembangan Islam di negara-negara muslim
lainnya di dunia, b) dengan adanya gagasan strategis “Mabadi Khaira
Ummah”, telah berimplikasi pada adanya penataan kembali struktur organsiasi NU
dari mulai tingkat ranting sampai pengurus besar, membagun kembali pola
komunikiasi antara NU dengan warganya dan membangun gerakan ekonomi kerakyatan,
c) dengan adanya gagasan “Fikroh Nahdliyah”, NU mensistematisir dirinya
menjadi sebuah sistem yang meberikan kerangka metodologis dan solusi-solusi
yang konkrit dalam memecahkan kebekuan dan kejumudan umat, d) dan dengan
adanya gagasan “Maslahah Ummah”, NU berupaya menegaskan dirinya sebagai
organisasi pemberdayaan umat dan perjuangan umat menuju umat yang sejahtera dan
pelopor bagi pembangunan manusia Indonesia yang cerdas, beriman dan bertaqwa.
Keempat, dalam perkembanganya, ASWAJA harus
mampu menjadi garda terdepan dalam menggerakkan sendi-sendi kebangsaan.
Semuanya demi kemaslahatan, kemajuan bangsa dan kejayaan Islam. Dalam tataran
ini ASWAJA harus memiliki kemampuan untuk menyusun wawasan strategis
ke-ASWAJA-an yang meliputi; bagaimana tradisi ke-nusantara-an, bagaimana
menggerakkan kaum mustadz’afin, bagaimana menggerakkan pribumisasi Islam, dan
bagaimana menggerakkan solidaritas kebangsaan.
Kelima, ASWAJA dituntut kemampuannya untuk
merumuskan strategi-strategi konkrit, realistis dan visioner, dimana dalam hal
ini ASWAJA dapat menjadi panduan, pedoman dan pandangan masyarakat umum,
seperti halnya “Madilognya Tan Malaka yang mampu menyusun gerakan
nasionalisme-kiri atau Das Kapitalnya Karl Marx yang mampu menyusun pedoman gerakan
komunis”.
Aswaja dalam Praksis Gerakan
Bagaimanakah membumikan ASWAJA dalam
praksis gerakan?. Pertanyaan ini menjadi penting untuk di jawab, agar ASWAJA
selalu menjadi landasan dan pedoman dalam praksis kehidupan sehari-hari.
Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA) sebagaimana telah disebutkan dalam bab-bab
awal, bukan hanya sebagai konsep teologi, melainkan juga sebagai konsep
berpikir dan bergerak. Oleh karena itu, harus ada hubungan sinergis antara
ajaran, landasan, sikap, pola pikiran dan tindakan sehingga manjadi satu
kesatuan yang integral sebagai wujud dari pembuman ASWAJA. Dalam membumikan
ASWAJA, terdapat enam (6) pola pengembangan; landasan keagamaan, konsepsi
dasar, orientasi, pola ukhuwah, penduan berpikir, dan panduan
bergerak
I.
Landasan keagamaan
Ø
Berpedoman pada al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas
Ø
Memantapkan ‘Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah.
Ø
Mengembangkan kontektualisasi dan aktualisasi fiqh
Ø
Menggerakkan fungsi-fungsi ushul fiqh
II. Konsepsi
dasar
Ø
Apresiasi terhadap tradisi-tradisi lokal
Ø
Menggelorakan semangat kebangsaan
III. Orientasi
Ø
Melakukan penilaian-penilaian masa lalu
Mempertahankan nilai-nilai
positif masa lalu dan memurnikannya dari pengaruh dan pencampuran unsur-unsur khurafat,
israiliyyat, dan nashraniyat, adat dan kebiasaan yang bertentangan
dengan Islam
Ø
Mengembangkan masa kini
Menerima hal-hal baru yang bermanfaat dan sesuai dengan islam dan
mengembangkannya sesuai dengan Islam dan menolak hal-hal baru yang tidak
sesuai dengan islam atau membahayakan Islam
Ø
Merintis masa depan
Menciptakan konsepsi-konsepsi baru yang sesuai Islam, mendorong
inisiatif-inisiatif dan ikhtiar dan mengembangkan azas dan haluan perjuangan
tersebut, mengadakan usaha dan langkah preventif terhadap sesuatu yang
bertentangan dengan Islam
IV. Pola Ukhuwah
Ø
Mengembangkan pola ukhuwah Islamiyah (ke-Islama-an)
Ø
Mengembangkan pola ukhuwah Basyariyah (ke-manusia-an)
Ø
Mengembangkan pola ukhuwah wathoniyah (ke-bangsa-an)
Ø
Mengembangkan pola ukhuwah nahdliyah (ke-NU-an)
V. Panduan
Berpikir
Ø
Mengembangkan pola pikir Tawassuthiyah (pola pikir moderat dengan tetap
mengedepankan keseimbangan dan keadilan)
Ø
Mengembangkan pola pikir Tasamuhiyah (pola pikir toleran)
Ø
Mengembangkan pola pikir Ishlahiyah (pola pikir reformatif)
Ø
Mengembangkan pola pikir Tathowwuriyah (pola pikir dinamis)
Ø
Mengembangkan pola pikir manhajiyyah (pola pikir metodologis)
VI. Panduan bergerak
Ø
Mengembangkan aspek-aspek Maslahah
Melakukan advokasi kebijakan,
meminimalisir bahaya, menghindari kerusakan, melakukan gerakan preventif,
menjadi kader pelopor, mewujudkan multi effect maslahat
Ø
Melakukan pembelaan terhadap kaum Mustadh’afin
Melakukan pembelaan terhadap
kelompok/ perorangan yang dilemahkan dan ditindas secara struktur
sosial-budaya, ekonomi dan politik serta memberdayakan, memperkuat dan
mengembangkan sepuluh kelompok; faqir, miskin, ‘amil, mu’allaf qulubuhum,
riqab, gharim, fi sabilillah, ibnu sabil, sa’il dan mahrum, dan yatim
* Sekretaris Jenderal PP IKDAR.
Penulis buku “ASWAJA ; Manhajul Harakah” dan juga penulis buku “Menggerakkan
Nahdlatut Tujjar”. Keduanya di terbitkan oleh Perhimpunan Masyarakat
Pesantren Indonesia (PMPI) tahun 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar